PinFunPapua.com, Jakarta – Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional tahun 2024 kembali mengalami penurunan untuk kedua kalinya, dengan mencatat angka 69,36. Hal ini menempatkan kondisi pers nasional dalam kategori “cukup bebas.” Sebelumnya, pada 2023, IKP berada di angka 71,57, yang sudah menurun dari angka 77,88 pada 2022.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam acara Peluncuran Hasil Survei IKP 2024 yang berlangsung di Hotel Gran Melia Jakarta, Selasa (5/11), menyatakan bahwa penurunan ini mengindikasikan kondisi pers nasional sedang tidak baik. Menurutnya, situasi ini dipengaruhi oleh lingkungan ekonomi, hukum, dan politik yang berimbas pada kebebasan pers.
“Penurunan angka IKP ini menunjukkan bahwa kondisi pers nasional tidak sedang baik-baik saja. Lingkungan ekonomi, hukum, dan politik memberi dampak signifikan pada angka IKP nasional,” ujar Ninik. Ia menekankan bahwa tanggung jawab membentuk lingkungan yang kondusif bagi pers tidak hanya ada di tangan pemerintah, tetapi juga memerlukan kontribusi sektor swasta dan instansi terkait lainnya.
Di bidang ekonomi, banyak media masih sangat bergantung pada kerja sama dengan pemerintah daerah, yang tanpa disadari memengaruhi independensi pers dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas sosial terhadap jalannya pemerintahan. Ninik juga mencatat bahwa pendapatan iklan media mengalami penurunan seiring dengan peralihan belanja iklan pemerintah ke media sosial.
“Kami menyarankan agar pemerintah lebih banyak mengalokasikan belanja iklan ke perusahaan pers nasional. Hal ini bertujuan agar pers tetap bisa bertahan dan bekerja secara profesional,” jelasnya.
Ninik juga mengingatkan agar pemerintah maupun instansi lain tidak memanfaatkan belanja iklan untuk kepentingan tertentu yang dapat mengurangi independensi pers.
Di sisi lain, anggota Dewan Pers sekaligus Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi, Atmaji Sapto Anggoro, menjelaskan bahwa angka IKP 69,36 diperoleh dari rata-rata beberapa variabel, yakni lingkungan fisik politik (70,06), lingkungan ekonomi (67,74), serta lingkungan hukum (69,44). Sapto menyoroti rendahnya skor variabel ekonomi yang disebabkan oleh kurangnya independensi dari kelompok kepentingan yang kuat serta tata kelola perusahaan pers yang belum optimal.
Pada aspek hukum, perlindungan terhadap penyandang disabilitas di industri pers dan penggunaan hukum yang dianggap mengancam kemerdekaan pers, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), turut menyebabkan rendahnya angka pada variabel ini, yaitu 68,43 dan 67,14. Penanganan kasus yang melibatkan pers dengan instrumen di luar UU Pers juga menjadi perhatian khusus karena mengurangi iklim kebebasan pers.
Kekerasan fisik dan serangan digital terhadap insan pers juga menjadi indikator signifikan yang mempengaruhi penurunan IKP. “Ini sering terjadi saat media memberitakan kasus-kasus korupsi dan isu lingkungan,” ungkap Sapto.
Menanggapi kondisi ini, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, mengimbau agar Dewan Pers dan seluruh pihak terkait tidak berkecil hati. Ia mendorong adanya langkah-langkah inovatif dalam mengembangkan model bisnis pers ke depan. “Kita perlu mencari cara untuk mengembangkan model bisnis pers masa depan dengan melakukan intervensi positif dalam ekosistem yang ada,” ujarnya.
Nezar juga menyarankan perlunya diversifikasi pendanaan dalam industri pers guna mengatasi tantangan insentif dan mempercepat terciptanya iklim pers yang lebih kondusif. (red/rls)