MANOKWARI, PinFunPapua.com — Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Barat, Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H., memaparkan materi mengenai tindak pidana korupsi dalam kegiatan Rapat Kerja Bupati dan Konsultasi Publik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029 se-Provinsi Papua Barat, yang digelar di Gedung PKK Arfai, Selasa (22/4/2025).
Dalam paparannya, Kepala Kejati menjelaskan bahwa korupsi merupakan tindakan melawan hukum dengan tujuan memperkaya diri sendiri maupun orang lain, baik secara perseorangan maupun korporasi, yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Mengutip teori dari Robert Klitgaard, Syarifuddin menerangkan bahwa korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan oleh pimpinan, ditambah kewenangan yang besar tanpa diimbangi dengan pengawasan yang memadai. Kombinasi tersebut menciptakan peluang besar bagi terjadinya tindak pidana korupsi. Ia juga menegaskan bahwa korupsi terstruktur dilakukan secara rapi dan sistematis oleh sekelompok orang untuk menutupi kejahatan yang dilakukan demi kepentingan pribadi maupun keluarga.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa korupsi di Indonesia merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena bersifat sistemik dan meluas, layaknya seekor gurita yang mencengkeram seluruh sendi kehidupan sosial dan pemerintahan. Korupsi juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat, penyebab utama kemiskinan, serta memperlebar kesenjangan sosial melalui kolaborasi yang tidak sehat antara sektor publik dan swasta.
Kejaksaan Tinggi Papua Barat, melalui Bidang Tindak Pidana Khusus, memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu, termasuk tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia berat. Selain itu, bidang ini juga berwenang melakukan penuntutan serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam pemaparannya, Kepala Kejati turut mengutip teori “Jack Bologne Gone Theory” yang menyebutkan bahwa terdapat empat faktor penyebab terjadinya korupsi, yakni keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (need), dan pengungkapan (exposure).
Adapun bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi meliputi: kerugian keuangan negara, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi.
Titik-titik rawan yang menjadi perhatian dalam upaya pemberantasan korupsi antara lain:
Pengadaan Barang dan Jasa: Praktik mark-up harga, kolusi, serta penunjukan langsung tanpa prosedur yang sah.
Pengelolaan Anggaran: Penyalahgunaan dana APBD dan alokasi dana hibah.
Perizinan Usaha dan Pemanfaatan Lahan: Pemerasan atau suap untuk mempercepat proses izin.
Penerimaan Pajak dan Retribusi: Manipulasi data pajak, pungutan liar, dan pemotongan pajak yang tidak sah.
Rekrutmen dan Promosi Pegawai: Jual beli jabatan dan praktik nepotisme.
Proyek Infrastruktur: Proyek fiktif, pengurangan kualitas pembangunan.
Pengelolaan Aset Daerah: Penjualan dan penyewaan aset secara ilegal.
Pelayanan Publik: Suap untuk layanan dan pemalsuan dokumen administrasi.
Syarifuddin menegaskan bahwa Kejati Papua Barat akan terus memantau potensi kerawanan korupsi, khususnya dalam pelaksanaan proyek-proyek fisik yang bersumber dari dana terbatas. Ia mengingatkan semua pihak untuk memaksimalkan anggaran dengan penuh tanggung jawab agar tidak terjadi lagi penyimpangan.
Upaya pencegahan korupsi menurut Kepala Kejati mencakup:
Transparansi dan Akuntabilitas: Penerapan sistem pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab.
Pengawasan Efektif: Peningkatan fungsi pengawasan internal dan eksternal.
Penegakan Hukum Tegas: Penindakan terhadap pelaku korupsi tanpa pandang bulu.
Pendidikan dan Sosialisasi: Edukasi terhadap masyarakat dan aparatur negara mengenai bahaya korupsi dan pentingnya integritas.
Dalam konteks regulasi, ia menegaskan pentingnya penerapan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum pemberantasan korupsi, di antaranya:
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas UU sebelumnya.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pemberantasan korupsi.
Di akhir paparannya, Syarifuddin menyatakan bahwa dengan kerja sama semua elemen, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil, upaya memberantas korupsi dapat berjalan optimal. Ia mengajak semua pihak untuk tidak bermain-main dengan anggaran, terutama dalam pelaksanaan proyek yang bersumber dari dana terbatas.
“Dengan keterlibatan kami di Kejati, kami akan terus pantau proyek-proyek yang berjalan. Jangan macam-macam, karena dana yang tersedia sangat terbatas. Setiap rupiah harus dimaksimalkan, dan jangan sampai ada penyimpangan lagi,” tegasnya. (red)