Kuasa Hukum 19 Calon Anggota DPR Papua Barat Jalur Otsus Tolak Hasil Seleksi Pansel

MANOKWARI, PinFunPapua.com – Metuzalak Awom ditunjuk sebagai kuasa hukum bagi 19 orang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPRP) jalur pengangkatan Otonomi Khusus (Otsus) yang menolak hasil seleksi Panitia Seleksi (Pansel). Para calon anggota DPRP ini berasal dari tujuh kabupaten di Papua Barat dan menyatakan keberatan atas keputusan yang diumumkan oleh Pansel pada 18 Februari 2025.

 

Dalam keterangannya kepada sejumlah wartawan, Metuzalak Awom menyampaikan bahwa kliennya merasa keberatan dengan proses seleksi yang dinilai tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ia menegaskan bahwa sejak pengumuman hasil seleksi pada 18 Februari, terdapat sejumlah kejanggalan yang berpotensi melanggar prosedur.

 

Keterlambatan Pengesahan dan Dugaan Pelanggaran Prosedur

 

Menurut Awom, berdasarkan ketentuan yang berlaku, setelah penetapan seleksi DPRP Otsus dilakukan, dalam waktu tiga hari dokumen harus diajukan ke Gubernur untuk mendapatkan pengesahan. Setelah itu, Gubernur memiliki waktu maksimal 14 hari untuk meneruskan hasil seleksi kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna memperoleh Surat Keputusan (SK) pengangkatan.

 

Namun, hingga saat ini, Mendagri belum memberikan keputusan, dan Gubernur Papua Barat pun belum mengajukan dokumen tersebut dalam batas waktu yang ditentukan. Akibatnya, proses ini melebihi tenggat waktu yang seharusnya, sehingga menurut aturan, kewenangan pengesahan seharusnya langsung diambil alih oleh Mendagri.

 

“Dari sejak pengumuman tanggal 18 Februari hingga saat ini sudah melewati batas waktu yang ditetapkan. Jika dalam 14 hari Gubernur tidak mengajukan penetapan, maka sesuai aturan, kewenangan itu diambil alih oleh Mendagri. Tetapi hingga sekarang belum ada tanda-tanda dari Mendagri untuk menurunkan SK pengangkatan tersebut,” jelas Awom.

 

Ketidaksesuaian Proses Seleksi dengan Regulasi

 

Selain keterlambatan pengesahan, Awom juga menemukan berbagai kejanggalan dalam tahapan seleksi. Ia mengungkapkan bahwa berdasarkan aturan yang berlaku, proses seleksi seharusnya dilakukan oleh Dewan Adat yang memiliki wilayah di daerah tersebut. Namun, pada kenyataannya, di beberapa wilayah seperti Teluk Wondama, Teluk Bintuni, dan Manokwari Selatan, seleksi dilakukan oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA), yang merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah.

 

“Terdapat kesalahan dalam mekanisme seleksi. Dalam jadwal tahapan yang ada, seleksi seharusnya dilakukan oleh Dewan Adat, bukan LMA. Tetapi dalam kenyataannya, seleksi dilakukan oleh LMA, sementara penetapan hasilnya dilakukan oleh Dewan Adat. Hal ini menimbulkan kontroversi mengenai siapa yang sebenarnya memiliki kewenangan dalam memberikan rekomendasi atau melakukan seleksi,” ujarnya.

 

Selain itu, Awom menyoroti adanya ketidakterbukaan dalam tahapan seleksi, terutama pada proses verifikasi berkas dan pengumuman hasil seleksi. Menurutnya, setiap tahapan seleksi seharusnya memiliki berita acara, daftar hadir, dan diumumkan kepada publik agar transparan.

 

“Seharusnya setelah verifikasi berkas, dikeluarkan surat penetapan yang dimuat dalam berita acara dan diumumkan kepada publik. Kemudian masuk ke tahap seleksi berikutnya, seperti wawancara atau uji kompetensi, dengan hasil yang jelas. Namun, yang terjadi saat ini, akumulasi nilai akhir muncul secara tiba-tiba tanpa kejelasan bagaimana perhitungannya. Ini yang menjadi permasalahan,” tegasnya.

 

Upaya Hukum dan Harapan Penyelesaian Sengketa

 

Atas berbagai kejanggalan tersebut, sebanyak 19 calon anggota DPRP Otsus yang merasa dirugikan telah memberikan kuasa kepada Awom untuk menempuh jalur hukum. Mereka telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado dan saat ini sedang menunggu keputusan resmi dari pengadilan. Selain itu, mereka juga telah melakukan klarifikasi ke Biro Hukum dan Biro Pemerintahan Papua Barat, tetapi hingga saat ini belum ada kejelasan mengenai surat keputusan dari Gubernur.

 

“Apakah Gubernur hanya memberikan surat pengantar kepada Mendagri atau tidak, masih menjadi tanda tanya. Tetapi yang jelas, batas waktu sudah terlewati, sehingga persoalan ini akan tetap menjadi sengketa,” kata Awom.

 

Sebagai solusi, Awom berharap Gubernur Papua Barat segera mengajukan dokumen ke Mendagri untuk mempercepat penyelesaian masalah ini. Ia juga meminta agar Pansel yang saat ini bertugas segera dibubarkan dan digantikan dengan panitia seleksi baru yang lebih transparan dan menjalankan proses sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.

 

“Kami berharap Gubernur segera mengajukan kepada Mendagri agar permasalahan ini tidak menimbulkan konflik di lapangan. Panitia seleksi yang ada saat ini harus dihentikan karena tidak transparan dan tidak melaksanakan seleksi sesuai dengan tahapan dan mekanisme yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, perlu segera dibentuk panitia seleksi baru yang bekerja secara profesional dan transparan,” pungkasnya.

 

Lebih lanjut, Awom juga mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan solusi jangka panjang, yaitu dengan menambah jumlah kursi DPRP jalur Otsus dari 9 menjadi 18 kursi. Hal ini dinilai dapat menjadi jalan tengah untuk menyelesaikan permasalahan saat ini tanpa menimbulkan konflik di masyarakat.

 

“Dalam Undang-Undang Otsus, ada ruang untuk perubahan kebijakan, termasuk soal jumlah kursi DPRP jalur Otsus. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan solusi ini daripada membiarkan persoalan ini berlarut-larut dan berpotensi memicu ketegangan di masyarakat,” tutupnya. ( Aufrida Marisan )

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *