
MANOKWARI, PinFunPapua.com – Ikatan Mahasiswa Yalimo (IMYAL) Kota Studi Manokwari, Papua Barat, menyampaikan kecaman keras terhadap dugaan tindakan rasisme dan kekerasan aparat militer yang terjadi di Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan. Pernyataan sikap tersebut disampaikan langsung oleh Ketua IMYAL, Beny Italy, melalui rilis resmi yang diterima media ini pada Rabu (17/9/2025).
Beny menilai bahwa insiden yang terjadi baru-baru ini di salah satu sekolah menengah atas di Yalimo merupakan peristiwa serius yang tidak hanya menimbulkan luka bagi masyarakat, tetapi juga telah melanggar hak asasi manusia serta hukum yang berlaku di Indonesia.
“Rasisme bukan hanya menyakiti hati masyarakat, tetapi juga melanggar hak asasi manusia dan hukum yang berlaku di Indonesia,” tegas Beny dalam pernyataannya.
Kronologi Insiden
Berdasarkan informasi yang dihimpun IMYAL, peristiwa bermula pada Senin (15/9/2025) ketika seorang siswi non-OAP (Orang Asli Papua) diduga melontarkan ujaran rasis dengan sebutan “monyet” kepada siswa OAP di ruang kelas. Ucapan tersebut kemudian memicu kemarahan siswa lainnya hingga berujung pada ketegangan di lingkungan sekolah.
Pada keesokan harinya, situasi semakin memanas setelah aparat keamanan memasuki area sekolah. Ketegangan berubah menjadi kerusuhan yang diwarnai aksi penembakan. Dalam insiden itu, seorang warga sipil bernama Sadrak Yohame dilaporkan meninggal dunia, sementara tiga orang lainnya mengalami luka berat.
Dugaan Eskalasi Militer dan Kepentingan Ekonomi
Selain mengutuk tindakan rasis, IMYAL juga menyoroti meningkatnya kehadiran militer di Yalimo yang disebut terkait dengan aktivitas penambangan emas oleh warga negara asing (WNA) asal Tiongkok di beberapa distrik, seperti Benawa dan Apalapsili.
Menurut IMYAL, keterlibatan aparat keamanan dalam aktivitas ekonomi tersebut memperlihatkan adanya prioritas terhadap kepentingan investor, sementara hak-hak dasar masyarakat adat terabaikan.
Tujuh Tuntutan IMYAL
Sebagai respons atas peristiwa tersebut, IMYAL menyampaikan tujuh poin tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah pusat maupun aparat keamanan, yakni:
1. Menindak tegas pelaku rasisme sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Mencopot Kapolres Yalimo sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan struktural.
3. Menghentikan pengiriman personel militer dari Wamena ke Yalimo.
4. Memproses hukum oknum aparat yang diduga melakukan tindakan rasis terhadap warga.
5. Mengusut tuntas pelaku penembakan terhadap warga sipil saat aksi protes.
6. Menghentikan penangkapan sepihak terhadap warga Yalimo.
7. Mendesak Pemerintah Kabupaten Yalimo segera turun tangan menyelesaikan konflik dengan pendekatan hukum dan kemanusiaan.
IMYAL bersama Himpunan Mahasiswa Kabupaten Yalimo (HMKY) juga menyatakan siap melakukan konsolidasi massa besar-besaran serta menduduki Elelim, ibu kota Kabupaten Yalimo, apabila pemerintah tidak segera merespons tuntutan tersebut.
“Jangan biarkan masyarakat terus hidup dalam ketakutan. Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan sebagai ancaman,” ujar Beny menegaskan.
Rasisme Adalah Tindak Pidana
IMYAL mengingatkan bahwa tindakan rasisme merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pelaku dapat dikenakan hukuman penjara hingga lima tahun atau denda sebesar Rp500 juta.
Dengan pernyataan tegas ini, IMYAL berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan, menegakkan hukum, serta menjamin perlindungan hak-hak masyarakat Yalimo. (Rls/Ris)