
Manokwari, PinFunPapua.com – Ketua Pilar Pemuda Rakyat (Pidar) Papua Barat, Jekson Kapisa, menyesalkan pernyataan kuasa hukum Bupati Manokwari yang dinilai tendensius, menyerang pribadi anggota legislatif, dan mengerdilkan peran media massa sebagai pilar keempat demokrasi.
“Kami dari Pilar Pemuda Rakyat adalah salah satu organisasi kemasyarakatan yang terbentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Kami menjalankan fungsi pengawasan, kontrol publik, serta aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan untuk mendukung pembangunan di daerah,” ujar Jekson Kapisa dalam pernyataannya kepada media.
Menurut Jekson, pernyataan kuasa hukum Pemerintah Daerah Manokwari, Jimmy Ell, S.H.—yang juga diketahui sebagai salah satu tenaga ahli Bupati Manokwari—sangat disayangkan karena dinilai menyerang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) dan juga media massa.
“Seharusnya, sebagai kuasa hukum, ia memahami tugas pokok dan fungsi masing-masing elemen, bukan saling menyerang, apalagi membangun opini yang bisa memprovokasi publik,” tegas Jekson.
Ia menambahkan, DPRK Manokwari telah menjalankan fungsinya dalam melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek dan kegiatan pemerintah daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dalam konteks pemberitaan yang menjadi sorotan, Jekson menjelaskan bahwa isi laporan tersebut berkaitan dengan mekanisme lelang dan penunjukan langsung oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang sejatinya merupakan hal wajar dan lazim di Indonesia. Menurutnya, seharusnya hal itu dijawab oleh pihak OPD, bukan ditanggapi dengan menyerang lembaga legislatif maupun media.
“Pernyataan kuasa hukum yang menyebut ‘salah satu oknum anggota DPRK Manokwari yang akhir-akhir ini rajin mencari panggung dengan komentar-komentar murahan’ jelas merupakan serangan terhadap pribadi. Ini tidak relevan dengan konteks fungsi pengawasan DPRK,” kata Jekson.
Ia menilai pernyataan tersebut berpotensi melanggar hukum karena berbau pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP, dan bahkan bisa masuk dalam kategori penyebaran berita bohong sesuai Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Sebagai wakil rakyat, DPRK memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah. Tugas itu dijalankan bukan untuk mencari panggung, tetapi untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas publik,” tegasnya.
Lebih lanjut, Jekson juga menyesalkan adanya pernyataan yang seolah-olah ingin mengkriminalisasi media atau mengambil langkah hukum terhadap pers. Padahal, menurutnya, peran media dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Langkah untuk melaporkan media ke Dewan Pers sangat keliru. Dalam rilis berita tersebut tidak ada serangan terhadap pribadi, melainkan berdasarkan hasil kerja DPRK yang sah. Kalau pun merasa dirugikan, sanggahan harus diberikan secara elegan dan berbasis data,” ujarnya.
Jekson menegaskan bahwa informasi yang dimuat media tersebut bersumber dari hasil peninjauan langsung Komisi III DPRK Manokwari di lapangan, bukan merupakan tudingan atau tuduhan terhadap pihak tertentu, apalagi tuduhan korupsi. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada unsur hoaks atau pelanggaran etika dalam pemberitaan tersebut.
“Faktanya, tidak ada satupun dalam pemberitaan itu yang menyebutkan atau menuduh adanya tindak pidana korupsi. Yang dipertanyakan adalah mekanisme pengadaan, bukan substansi kriminal,” jelas Jekson.
Sebagai penutup, Jekson Kapisa menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, di mana tidak ada satu pihak pun yang kebal hukum. Namun, hukum juga tidak boleh digunakan sebagai alat pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
“Hukum harus ditegakkan untuk keadilan. Jangan sampai kekuasaan digunakan untuk membungkam demokrasi,” tutup Jekson.
(JN)