
MANOKWARI, PinFunPapua.com – Tokoh masyarakat Suku Besar Arfak, Obet Arik Ayok Rumbruren, menyerukan agar seluruh elemen masyarakat Papua—baik tokoh adat, tokoh agama, akademisi, maupun generasi muda—bersatu menjaga masa depan manusia dan budaya Papua. Seruan ini disampaikan dalam refleksi menjelang peringatan 100 tahun nubuat I.S. Kijne, yang dinilainya menjadi momentum penting untuk meneguhkan kembali jati diri bangsa Papua.
Obet menegaskan bahwa tiga pilar utama yang harus dijaga bersama ialah Gereja, adat, dan pendidikan. Ketiga pilar tersebut menurutnya menjadi fondasi penting dalam mempertahankan eksistensi bangsa Papua di tengah arus modernisasi dan globalisasi yang kian kuat.
“Gereja harus siaga, adat juga harus siaga. Anak-anak muda yang cerdas jangan hanya pintar di kampus, tetapi turun ke masyarakat untuk berbicara dengan orang tua-tua,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa modernisasi yang tidak diimbangi dengan pelestarian nilai-nilai budaya lokal dapat menggerus identitas orang Papua. “Seratus tahun ke depan, apakah orang Papua masih berkulit hitam dan berambut keriting? Jangan sampai ciri khas itu hilang. Identitas kita harus dijaga,” kata Obet dengan nada tegas.
Dalam pandangannya, dunia pendidikan di Papua harus diarahkan pada pembentukan karakter dan penanaman nilai budaya. Pendidikan yang terlepas dari akar budaya lokal hanya akan menghasilkan generasi yang cerdas secara akademik, tetapi miskin makna dan kehilangan jati diri.
“Perguruan tinggi banyak mencetak sarjana, tapi kalau tidak ada buku dan literasi yang mengangkat budaya Papua, generasi mendatang akan kehilangan arah,” tutur Obet.
Lebih jauh, ia mengingatkan pentingnya persatuan lintas agama dan suku di Tanah Papua. Obet menolak keras anggapan bahwa umat Muslim di Papua adalah pendatang. “Orang Fakfak, Kaimana, Bintuni, dan Babo adalah Muslim Papua asli. Jadi jangan bedakan antara Muslim Papua dan Kristen Papua. Kita satu bangsa,” tegasnya.
Menurutnya, perbedaan agama tidak seharusnya menjadi penghalang dalam membangun kesatuan dan memperjuangkan harkat manusia Papua. “Muslim Papua dan Kristen Papua adalah satu bangsa. Jangan lagi bicara soal perbedaan agama, tapi bagaimana kita bersatu berbicara untuk Papua,” serunya.
Ia menilai bahwa persoalan Papua tidak dapat diselesaikan hanya dengan membicarakan soal kekayaan alam, tetapi harus berfokus pada penyelamatan manusia Papua itu sendiri. “Jangan selamatkan kekayaan alam Papua, tapi selamatkan manusia Papua,” ujarnya menegaskan.
Obet pun menyerukan agar Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua mengambil peran lebih besar sebagai lembaga moral dan spiritual yang berpihak kepada rakyat Papua. Ia berharap GKI dapat menggunakan pengaruhnya untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan harkat orang Papua di masa kini maupun masa depan.
“Mari kita bersatu—Kristen Papua, Muslim Papua, adat, dan pemerintah—berbicara terang-terangan kepada pemerintah Indonesia. Kalau Papua bagian dari NKRI, maka hormati dan lindungi manusianya, bukan hanya kekayaannya,” tegas Obet menutup refleksinya. (red)