
MANOKWARI, PinFunPapua.com – Tokoh reformasi Suku Besar Arfak, Obet Arik Ayok Rumbruren, menegaskan pentingnya peran Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua dalam memperkuat persatuan lintas agama, adat, dan akademisi untuk menghadapi berbagai tantangan sosial, budaya, dan kemanusiaan di Tanah Papua.
Menurut Obet, GKI merupakan “rumah besar” yang memiliki sejarah, pengaruh, dan tanggung jawab besar dalam kehidupan masyarakat Papua. Ia menegaskan bahwa GKI tidak boleh berjalan sendiri, tetapi harus menjadi jembatan yang menghubungkan semua elemen masyarakat, termasuk umat Muslim Papua dan gereja-gereja lainnya.
“Gereja GKI sebagai rumah besar harus siaga, adat juga harus siaga, dan akademisi pun harus ikut berperan. Islam Papua, Kristen Papua, akademisi, dewan adat, dan pemerintah harus kompak karena semuanya punya pengaruh besar,” tegas Obet dalam refleksinya di Manokwari.
Ia menekankan bahwa GKI memiliki kapasitas dan reputasi global yang tidak boleh disia-siakan. GKI adalah anggota Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches), Dewan Gereja Asia, Dewan Gereja Asia Tenggara, serta Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Dengan posisi strategis itu, GKI memiliki kekuatan moral dan jaringan luas untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Papua.
“GKI punya kemampuan, kekuatan, dan pengaruh besar. Karena itu, GKI tidak bisa jalan sendiri. GKI harus bergandeng tangan bekerja sama dengan semua gereja di Tanah Papua serta dengan saudara-saudara Muslim Papua. Dalam tatanan adat, kita punya nilai-nilai luhur yang mengatur kehidupan kita agar tetap solid menghadapi tantangan ke depan,” ujar Obet.
Ia menilai, banyak persoalan di Tanah Papua, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, tidak dapat diselesaikan secara sepihak. Menurutnya, hanya melalui kebersamaan dan dialog terbuka antar elemen masyarakat, keadilan dan perdamaian sejati bisa terwujud.
“Masalah pelanggaran HAM di Papua tidak bisa diselesaikan sepihak. Kita harus berbicara bersama, duduk dalam kebersamaan, baru kita bisa menjawab semua permasalahan yang ada di Tanah Papua,” tegasnya.
Dalam refleksinya, Obet juga mengingatkan bahwa GKI memiliki sejarah panjang dan jasa besar bagi Republik Indonesia. Ia mencontohkan peran penting Pendeta Filep Jacob Spenyel Rumainum, tokoh gereja asal Papua yang turut memperjuangkan integrasi Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia bersama tokoh nasional lainnya seperti Tahi Bonar Simatupang, mantan panglima perang RI setelah Jenderal Soedirman.
“Pendeta Filep Jacob Spenyel Rumainum bersama delegasi Indonesia pernah berbicara di New Delhi, India, dan memilih agar Irian Barat bergabung dengan Indonesia. GKI di Papua juga menjadi anggota Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) di Jakarta dan kemudian diterima sebagai anggota Dewan Gereja-Gereja Dunia (DGD) dalam Sidang Raya Gereja-Gereja se-Dunia di Uppsala, Swedia, pada Juli 1968. Itu adalah bagian dari sikap politik gereja memperjuangkan Papua menjadi wilayah Indonesia,” jelas Obet.
Ia menambahkan, setelah peristiwa tersebut, dilaksanakanlah Tri Komando Rakyat (Trikora) tahun 1962 yang menjadi momentum penting peralihan kekuasaan Papua dari Belanda kepada Indonesia.
Oleh karena itu, Obet menilai bahwa sudah saatnya GKI di Tanah Papua menunjukkan kembali jati dirinya sebagai gereja yang berpengaruh secara nasional dan internasional. GKI, menurutnya, perlu tampil di garis depan untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran bagi rakyat Papua.
“Sudah saatnya kita memperlihatkan jati diri sebagai gereja yang punya pengaruh besar, agar orang tahu menghargai GKI dan menghormati semua gereja yang ada di Tanah Papua,” tutup Obet Rumbruren dengan penuh keyakinan. (red)