PinFunPapua.com, Manokwari – Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) mendorong Universitas Papua (UNIPA) untuk memperkuat keberpihakan kebijakan terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Orang Asli Papua (OAP), terutama dalam peningkatan kualitas tenaga pengajar.
Anggota MRPB, Yotham J. Dedaida, menegaskan bahwa potensi SDM Papua perlu dimaksimalkan dalam era perubahan manajemen yang berlaku saat ini, dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus).
Menurut Dedaida, banyak individu berbakat di Papua yang dapat memberikan kontribusi signifikan, namun keterlibatan mereka sering kali terhambat oleh sistem persaingan terbuka yang diatur oleh kementerian. “Kami di MRP siap mendukung kebijakan UNIPA yang berpihak kepada orang asli Papua,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa Undang-Undang Otsus memberikan dasar yang kuat untuk mendukung regulasi yang menguntungkan masyarakat lokal. “UNIPA berdiri di sini karena orang Papua. Pendidikan dan SDM orang Papua harus menjadi prioritas,” tegasnya.
Dedaida juga menekankan pentingnya sinergi antara UNIPA, alumni, dan pemerintah daerah untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan masyarakat Papua. “UNIPA harus bergandeng tangan, jangan berjalan sendiri. Kita harus bersinergi untuk mencapai tujuan bersama,” tutupnya.
Dalam kaitan ini, perhatian terhadap pengembangan tenaga pengajar OAP juga menjadi sorotan dalam pemaparan visi dan misi para bakal calon Rektor UNIPA pada Rabu, (14/8/2024). Empat bakal calon Rektor yang mempresentasikan visi dan misi mereka adalah Dr. Meky Sagrim, Dr. Yafet Syufi, Profesor Sepus Fatem, dan Dr. Hugo Warami.
Yusuf Sawaki, seorang dosen di UNIPA, menyampaikan keprihatinannya terhadap pengangkatan dosen-dosen asli Papua sejak tahun 2004. Menurutnya, meskipun terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah OAP yang menjadi dosen antara tahun 2004 hingga 2009, perkembangan tersebut mengalami penurunan drastis setelah periode tersebut.
“Saya mengikuti betul pengangkatan dosen-dosen asli Papua, dan sejak tahun 2004 ada peningkatan yang signifikan, tetapi setelah itu terjadi penurunan yang sangat drastis,” ujar Sawaki.
Sawaki menilai bahwa standar pendidikan minimal Strata Dua sebagai syarat penerimaan dosen menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan jumlah dosen OAP. Ia berharap agar Rektor terpilih dapat menerapkan terobosan untuk meningkatkan jumlah dosen OAP secara signifikan.
“Permasalahannya adalah tidak ada SDM dosen Papua, dan informasi mengenai cara mencari potensi calon dosen OAP yang ingin bergabung di UNIPA masih menjadi kendala,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sawaki menjelaskan bahwa dari tahun 2004 hingga 2008, UNIPA berupaya merekrut calon dosen dari kalangan Papua, baik dari alumni UNIPA maupun dari alumni universitas luar Papua, yang belum memiliki pekerjaan. “Mereka berhasil menjadi dosen, dan kini banyak di antara mereka yang telah meraih gelar doktor,” tambahnya.
Namun, Sawaki menyoroti bahwa perubahan regulasi terkait pengangkatan dosen menyebabkan jumlah dosen OAP menurun dalam 15 tahun terakhir. Ia khawatir bahwa tanpa adanya perubahan kebijakan, jumlah dosen OAP akan terus berkurang, bahkan calon-calon Rektor pun nantinya bukan lagi dari kalangan mereka.
Sawaki berharap calon Rektor yang terpilih berani mengambil langkah konkret hingga ke tingkat pusat untuk mengeluarkan kebijakan perekrutan khusus bagi dosen asli Papua di UNIPA dan seluruh wilayah Papua. “Anak-anak Papua harus menjadi bagian dari SDM di perguruan tinggi sebagai dosen. Ini penting dan harus ada tindakan nyata,” tandasnya.
Dengan berbagai tantangan yang ada, Sawaki berharap pengembangan tenaga pengajar asli Papua di UNIPA tetap menjadi prioritas, dan perhatian calon Rektor dapat membawa perubahan positif bagi pendidikan di Papua. (PFP-01)