PEGUNUNGAN ARFAK, PinFunPapua.com — Di balik semangat DPR Papua Barat menyosialisasikan regulasi pertambangan rakyat, tersimpan tantangan besar yang dihadapi masyarakat adat di Pegunungan Arfak, yakni mahalnya biaya dan rumitnya birokrasi dalam pengurusan izin usaha tambang.
Yusuf, salah satu perwakilan masyarakat yang hadir dalam sosialisasi di Distrik Minyambouw, mengungkapkan bahwa untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dirinya harus mengurus pembentukan koperasi dan menyiapkan dana besar.
“Saya urus itu bentuk koperasi untuk dapatkan IUP dan IPR, tapi anggaran saya tidak cukup. Urusan ini saja makan 500 juta. Tapi kita lihat saat ini, orang-orang masuk ambil emas di Pegunungan Arfak,” tutur Yusuf.
Pernyataannya mengindikasikan adanya kesenjangan antara mekanisme formal yang diwajibkan negara dan kenyataan di lapangan, di mana penambangan liar masih berlangsung tanpa pengawasan yang ketat.
Tingginya aktivitas pertambangan di Pegunungan Arfak juga menyimpan potensi konflik antarwarga, khususnya menyangkut kepemilikan wilayah ulayat dan dampak lingkungan. Namun demikian, masyarakat adat yang ingin menjalankan pertambangan secara legal justru dihadapkan pada hambatan struktural dan finansial yang tidak ringan.
Sementara pemerintah daerah mendorong penguatan tata kelola berbasis hukum dan adat, masih diperlukan reformasi administratif agar masyarakat adat dapat lebih mudah dan murah mengakses legalitas usaha tambang.
“Perda sudah ada, masyarakat juga antusias, tapi kami minta perhatian pemerintah agar proses izin tidak menyulitkan kami yang orang kampung,” tegas Yusuf.
DPR Papua Barat dan pemerintah kabupaten diharapkan dapat menjembatani kepentingan masyarakat dengan menyusun mekanisme khusus atau insentif untuk penduduk asli yang mengelola tambang secara mandiri dalam wilayah adatnya. Upaya ini akan menjadi langkah strategis untuk menekan praktik ilegal dan sekaligus meningkatkan pendapatan daerah secara berkelanjutan, (red/rls)