MANOKWARI, PinFunPapua.com – Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRP PB) Judson Ferdinandus Waprak menyuarakan keprihatinan mendalam atas belum terbangunnya kantor tetap yang layak dan representatif bagi MRP Papua Barat, meskipun pelaksanaan otonomi daerah telah memasuki usia ke-29 tahun.
Pernyataan tersebut disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari Otonomi Daerah ke-29. Dalam pernyataannya, Judson menegaskan bahwa keberadaan kantor yang memadai merupakan simbol sekaligus sarana penting dalam menunjang eksistensi lembaga kultural yang menjadi wadah representasi Orang Asli Papua (OAP) dalam sistem pemerintahan daerah.
“Sudah 29 tahun Otonomi Daerah berjalan, dan kita masih menyaksikan bahwa lembaga kultural seperti MRP Papua Barat belum memiliki kantor tetap yang layak. Ini ironi yang harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat dan daerah,” ujarnya.
Ketua MRP PB menyampaikan bahwa MRP Papua Barat merupakan lembaga negara yang lahir dari amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, dengan fungsi strategis menjaga nilai-nilai adat, budaya, dan agama. Selain itu, MRP PB juga berperan memastikan agar setiap kebijakan pembangunan di wilayah Papua Barat berpihak kepada kepentingan dan perlindungan hak-hak dasar Orang Asli Papua.
Namun, hingga saat ini, lembaga tersebut masih belum memiliki fasilitas kantor permanen yang memadai. Kondisi ini, menurut Ketua MRP PB, secara langsung menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi MRP Papua Barat secara optimal, terutama dalam konteks penguatan identitas serta representasi kultural OAP di tingkat kebijakan.
“Kami tidak menuntut kemewahan, tetapi menuntut keadilan. Lembaga kultur ini adalah wajah dari OAP. Sudah saatnya kita punya rumah sendiri, bukan menumpang,” tegasnya.
Ketua MRP PB juga mendesak pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk segera mendorong percepatan pembangunan kantor MRP Papua Barat sebagai bentuk penghormatan sekaligus pengakuan terhadap eksistensi dan peran lembaga tersebut dalam kerangka otonomi khusus yang diamanatkan oleh konstitusi.
Lebih lanjut, ia mengajak seluruh masyarakat, khususnya tokoh-tokoh adat dan pemangku kepentingan di Papua Barat, untuk turut serta mengawal isu tersebut sebagai bagian dari perjuangan kolektif dalam memperkuat institusi penjaga jati diri dan marwah budaya masyarakat Papua Barat.
“Ini bukan hanya soal kantor, tetapi soal harga diri dan eksistensi kita sebagai masyarakat adat yang dilindungi oleh hukum. Sudah waktunya negara benar-benar hadir,” pungkasnya. (red)