MRP Papua Barat Desak Penutupan Sementara Tambang Nikel di Raja Ampat, Negara Diminta Tidak Korbankan Masyarakat Adat

Ketua Majelis Rakyat Papua Barat Judson Ferdinandus Waprak ( FOTO : Aufrida Marisan )

MANOKWARI, PinFunPapua.com — Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat menyampaikan sikap tegas terhadap aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat yang dinilai semakin menimbulkan keresahan di tengah masyarakat adat. Dalam pernyataan resminya, MRP meminta pemerintah segera menutup sementara seluruh kegiatan tambang nikel di wilayah tersebut dan melakukan peninjauan ulang terhadap izin-izin yang telah diterbitkan.

Ketua MRP Papua Barat Judson Ferdinandus Waprak menyatakan bahwa Papua merupakan bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan negara, termasuk investasi, tidak boleh mengorbankan rakyat—terutama masyarakat adat Papua—demi kepentingan ekonomi dan korporasi semata.

“Negara tidak boleh menjadikan rakyat sebagai korban demi investasi. Kepentingan masyarakat adat harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap proses pembangunan, termasuk di sektor pertambangan,” tegas pernyataan resmi MRP Papua Barat, Sabtu (7/6/2025).

MRP menyoroti dampak lingkungan dan potensi konflik sosial akibat aktivitas tambang nikel yang mengancam eksistensi wilayah adat dan kelestarian alam Raja Ampat. Untuk itu, lembaga representatif kultural Orang Asli Papua (OAP) ini menyampaikan empat poin utama sikapnya kepada publik dan pemerintah:

Pertama, MRP meminta agar kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat dihentikan sementara waktu guna mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut serta menghindari konflik sosial yang bisa merugikan masyarakat pemilik hak ulayat.

Kedua, MRP mendesak pemerintah meninjau ulang seluruh izin usaha pertambangan yang berlaku di Raja Ampat, terutama perizinan yang dikeluarkan tanpa melibatkan masyarakat adat secara sah dan partisipatif.

Ketiga, MRP menekankan bahwa salah satu aspek penting yang wajib dikaji ulang adalah dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Aktivitas pertambangan, menurut MRP, tidak boleh dilanjutkan jika belum memiliki dokumen AMDAL yang sah, transparan, dan disetujui oleh masyarakat adat yang terdampak langsung.

Keempat, negara diminta untuk hadir dan menjalankan fungsinya dalam melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat Papua sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Sebagai lembaga yang memiliki mandat konstitusional dan tanggung jawab moral dalam menyuarakan serta melindungi hak-hak masyarakat adat, MRP Papua Barat menegaskan bahwa keberpihakan terhadap masyarakat adat harus menjadi prinsip utama dalam arah pembangunan di Tanah Papua.

MRP juga mengajak seluruh elemen bangsa—termasuk media massa, kalangan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh adat—untuk bersama-sama mengawal proses pembangunan ini secara adil dan transparan.

“Tanah Papua bukan ladang eksploitasi. Ia adalah ruang bermartabat yang harus dibangun dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan,” tutup pernyataan tersebut. (red)

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *