MANOKWARI, PinFunPapua.com – Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) dari Pokja Adat, Eduard Orocomna, menekankan pentingnya ketaatan perusahaan terhadap regulasi yang telah ditetapkan negara, khususnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021. Ia menyebut bahwa perusahaan wajib melaporkan setiap aktivitasnya kepada MRPB dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
“PP 106 tahun 2021 itu amanat dari Undang-Undang Otonomi Khusus. Di situ jelas disebutkan perusahaan wajib melaporkan kegiatan operasional dan dampaknya terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi kepada MRPB dan DPRP,” kata Eduard.
Menurutnya, perusahaan sering mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga pelibatan lembaga-lembaga representatif seperti MRPB dan DPR Otsus tidak berjalan maksimal. Padahal, peran MRPB sangat penting dalam proses pengawasan dan pengendalian dampak sosial dan ekologis dari aktivitas industri.
“Masalahnya bukan pada tidak adanya aturan. Undang-undangnya sudah jelas, hanya saja banyak perusahaan tidak paham atau enggan membacanya. Saya minta mereka pahami betul isi dari UU Otsus dan PP 106 itu supaya kehadiran mereka bermanfaat bagi orang asli Papua,” ujarnya.
Ia juga menyoroti realitas bahwa kelapa sawit bukan bagian dari budaya bertani masyarakat Papua. Ketidaksiapan masyarakat, baik dari sisi keterampilan, modal, maupun akses pasar, membuat keterlibatan mereka dalam industri sawit masih sangat terbatas.
“Kita tidak bisa samakan Papua dengan Kalimantan. Di Kalimantan, masyarakat sudah terbiasa dan mendapatkan manfaat ekonomi dari sawit karena ada regulasi yang mendukung, pendampingan, dan skema kebun plasma,” ucapnya.
Eduard menilai, Papua memerlukan ruang belajar untuk mempersiapkan petani OAP (Orang Asli Papua) agar dapat terlibat aktif dalam rantai ekonomi berbasis sawit atau sektor lainnya. Namun, proses tersebut harus dijalankan melalui pendekatan budaya dan penghormatan terhadap struktur sosial masyarakat adat.
“Tanah Papua itu bukan kosong. Ada isinya, ada manusianya. Jangan seenaknya datang seolah itu tanah milik sendiri. Perusahaan harus tahu bahwa setiap langkah investasi harus dimulai dari konsultasi, sosialisasi, dan persetujuan masyarakat,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa di Kabupaten Teluk Bintuni terdapat tujuh suku yang dilindungi oleh hukum adat dan negara. Maka, semua pihak termasuk perusahaan dan pemerintah daerah, wajib menghormati dan melibatkan tokoh adat, tokoh agama, kepala distrik, kepala kampung, dan lembaga adat lainnya dalam setiap proses investasi.
“Di Teluk Bintuni, perusahaan tidak bisa seenaknya masuk. Mereka harus lapor diri dan duduk bersama tokoh adat, pemerintah daerah, dan lembaga kultural. Semua proses harus transparan dan partisipatif,” pungkas Eduard.(red)